aqubocahpemimpi.blogspot.com

Minggu, 02 Desember 2012

Perbandingan cerita rakyat NISAN BERLUMUR DARAH dengan novel LAILA MAJNUN


Perbandingan cerita rakyat NISAN BERLUMUR DARAH
dengan novel LAILA MAJNUN
Cerita Rakyat
Nisan Berlumur Darah
Mashor adalah pemuda yang bertempat tinggal di desa yang sekarang sekitar Pekauman dan Teluk Selong. Mashor berasal dari keluarga yang miskin, tetapi mempunyai pendidikan yang tinggi dan budi akhlaknya tinggi. Dia mempunyai keahlian membaca Al-Quran yang sangat indah di dengar. Mashor sebagai orang yang tidak mampu ikut bekerja di rumah Fatimah sebagai pembantu.
Fatimah merupakan gadis dari keluarga sangat kaya. Mereka tinggal diseberang desa Mashor, mungkin sekarang daerah Kampung Melayu. Orang tuanya merupakan pedagang yang mempunyai hubungan dagang keluar daerah. Terutama daerah Singapura.
Mashor sebagai pembantu mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukannya seperti menimba air, memotong kayu, dan lain-lain. Hari demi hari, bulan demi bulan itu saja yang dilakukannya untuk membiayai hidup dan orang tuanya. Selama beberapa tahun Mashor bekerja dirumah kaya itu membuat Fatimah secara tidak sadar jatuh cinta kepadanya begitu juga sebaliknya. Tetapi karena adat yang menjaga ketat pertemuan antara perawan dengan bujangan membuat hubungan mereka tidak diketahui oleh keluarga.
Mashor sadar percintaan mereka pasti akan ditentang oleh keluarga Fatimah yang memegang adat keluarga. Mereka hanya akan menikahkan anak gadisnya hanya dengan orang yang sederajat dan mempunyai hubungan keluarga bangsawan dan pasti tentu harus pilihan keluarga. Tetapi Cinta di hati tidak bisa menolaknya. Tidak lama kemudian hubungan mereka mulai diketahui orang tua Fatimah. Betapa marahnya orang tua Fatimah mengetahui hal demikian. Mereka memutuskan untuk menjauhkan Mashor dari Fatimah dengan menugaskan Mashor menjaga kebun karet dan ladang keluarga Fatimah di seberang sungai.
Kebun karet ini berada jauh dari rumah Fatimah, menujunya hanya bisa dengan perahu “jukung” karena melewati sungai yang kecil. Mashor diberikan pondok kecil untuk berteduh dan melakukan kegiatan sehari-hari. Setiap hari dia bekerja merawat kebun karet tersebut. Setiap hasil karet hanya orang suruhan keluarga Fatimah saja yang mengambilnya. Dia tidak diberikan kesempatan untuk ke rumah sang Majikan. Fatimah mengetahui kabar Mashor hanya dengan meminta keterangan acil ijah, pembantu yang sering mengatarkan beras buat Mashor.
Suatu hari ada orang kaya bernama Muhdar yang masih ada hubungan keluarga dengan Fatimah badatang (melamar) ke rumah Fatimah dengan menggunakan satu buah kapal yang sangat besar sesuai dengan derajat kekayaan orang tersebut. Niat Muhdar disambut baik oleh keluarga Fatimah, mereka sepakat untuk mengadakan perkawinan besar-besaran. Hal ini tidak menjadi beban bagi Muhdar karena kakayaannya.
Fatimah sangat menentang niat orang tuanya yang menjodohkannya dengan Muhdar. Dia kenal betul perangai Muhdar. Walaupun kaya tetapi dia tidak mempunyai budi pekerti dan ilmu agama sebaik Mashor. Tetapi dia harus menjalankan dua pilihan yang sangat berat. Di satu sisi dia mempunyai pilihan dan cinta yang diyakininya membawa kebahagian di dunia dan di akhirat yaitu hidup bersama Mashor. Di satu sisi dia harus mengikuti perintah orang tuanya, dia sadar menyakiti hati orang tua adalah perbuatan yang durhaka. Akhirnya Fatimah pasrah terhadap perjodohan ini. Perjodohan yang dilandasi oleh harta, hubungan keluarga bukan oleh Cinta. Mashor yang berada jauh tidak mengetahui perjodohan ini. Semuanya yang datang ke gubuk Mashor bekerja selalu menutupinya. Mereka tidak ingin dipecat majikan jika menceritakan hal tersebut.
Akhirnya acara pernikahan dimulai, Muhdar datang dengan beberapa kapal besar yang membawa mas kawin atau jujuran. Ada kapal yang membawa isi kamar lengkap, ada kapal yang membawa perhiasan emas dan batu permata, ada kapal yang membawa pakaian wanita yang sangat indah-indah. Bagi mereka semua itu hal biasa, karena bisnis dagang keluarga ini ke Singapura berupa batu permata dan kain. Mereka mempunyai banyak pelanggan di Singapura. Pada jaman tersebut sungai Martapura digunakan sebagai jalur perdagangan. Kapal-kapal besar pedagang Martapura sering berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Jawa dan Sumatera hingga Singapura dan Malaysia. Sesuai dengan jalur perdagangan dunia antara Malaysia dan pulau Sumatera.
Pada malam harinya ketika semua kelelahan. Muhdar dan Fatimah tidur di kamar penganten. Belum sempat malam pertama itu terjadi ternyata rumah Fatimah terbakar akibat api dapur lupa dimatikan. Muhdar lari keluar dengan segera tanpa memperdulikan Fatimah. Api semakin membesar Fatimah terjebak di dalamnya. Mashor yang belum tidur melihat dari kejauhan warna merah di langit yang menadakan kebakaran. Dia yakin kebakaran itu berada di rumah Fatimah. Tanpa peduli aturan majikannya yang tidak memperbolehkannya mendekati rumah dia langsung berlari mengambil jukung. Setelah sampai di rumah Fatimah dia diberitahu bahwa Fatimah terjebak di dalamnya. Dengan kekuatan Cintanya dia terobos api dan menemukan Fatimah pingsan karena terlalu banyak menghirup asap. Dia angkat Fatimah melewati api yang besar. Dengan badannya dia melindungi Fatimah dari api dan kayu rumah yang berjatuhan. Setelah dia bawa keluar Mashor disambut Muhdar dengan merebut Fatimah dari pangkuan Mashor. Dengan demikian Mashor akhirnya mengetahui perkawinan tersebut. Belum sempat dia mendapatkan penjelasan, Mashor pingsan karena terlalu banyak luka bakar yang dialaminya. Keluarga Fatimah memerintahkan agar mashor dirawat kembali di gubuknya tempatnya bekerja. Dan menginginkan agar peristiwa heroic ini jangan sampai diketahui Fatimah.
Subuh harinya mashor tidak bisa bertahan. Dia meninggal karena luka yang terlalu parah. Setelah sholat dzuhur dia dimakamkan di daerah perkebunan karet tersebut. Atau tepatnya sekarang berada di desa Tungkaran. Makam Mashor sederhana dengan nisan ulin. Untuk mencegah babi hutan kuburannya juga dipagar bambu. Semuanya berada di pemakaman, baik teman-teman Mashor maupun keluarga Fatiamah. Tetapi Fatimah tidak mengetahui kematian ini. Dia masih lemah di kamar rumah Muhdar. Dia masih bertanya di dalam hati bagaimana dia bisa selamat, suaminya sendiri meninggalkannya saat kebakaran itu terjadi.
Sewaktu malam hari pertanyaan itu dikeluarkannya pada Acil Ijah yang sejak kecil merawatnya. Acil Ijah tahu betul perasaan Fatimah kepada Mashor. Karena tidak dapat mendustai tuannya yang sejak kecil dia pelihara tersebut akhirnya dia ceritakan peristiwa kebakaran itu. Fatimah yang sangat rindu Mashor akhirnya menanyakan keberadaan Mashor. Dengan sangat hati-hati Acil Ijah menceritakan kematian Mashor dan memberitahukan letak kuburannya. Dia berjanji menemani Fatimah besok untuk ziarah ke kuburan Mashor.
Fatimah Sangat terpukul hatinya mengetahui pemuda yang melindungi dan dicintainya telah tiada. Menangislah Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam 3 shubuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat menyimpan perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan ke kuburan Mashor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mashor. Dipikirannya hanya ada satu wajah Mashor, pemuda yang sangat mengerti dirinya. Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu Mashor, dia melihat Mashor berdiri tersenyum kepadanya di tengah rintikan hujan. Tanpa berpikir panjang Fatimah berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya melepaskan segala kerinduannya. Fatimah menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya. Fatimah meninggal dengan senyum dia yakin menemukan cintanya.
Unsur-Unsur Intrinsik
Tema: Ketulusan Cinta
Alur :  dalam cerita Nisan Berlumur Darah ini alur yang digunakan adalah alur maju karena bercerita dari bagaimana Fatimah dan Mashor bertemu, saling jatuh cinta dan sampai akhirnya mereka meninggal dunia. 
Tokoh dan Penokohan
  1. Mashor: Seorang pemuda miskin biasa yang sangat ulet, gigih dan rajin bekerja. Dia adalah sosok laki-laki yang setia terhadap wanita yang dicintainya, Tokoh: protagonist.
  2. Fatimah: Wanita yang terpaksa harus mengorbankan cintanya demi kebahagiaan kedua orang tuanya agar tidak dianggap sebagai anak yang durhaka. Pernikahannya dengan Muhdar tidak membuatnya menghilangkan rasa cintanya terhadap mashor. Setelah Mashor meninggal pun Fatimah tidak dapat melupakan Mashor  bahkan Fatimah bahagia karena di akhir hidupnya bisa bertemu dengan Mashor walau kisah cinta mereka berakhir tragis,Tokoh: protagonist.
  3. Muhdar: Lelaki kaya raya yang dijodohkan dengan Fatimah. Kekayaannya membuat orang tua Fatimah tidak bisa menolak menerima pinangan Muhdar sehingga membuat Fatimah dan Mashor harus berpisah. Tetapi Muhdar adalah sosok laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Dia tega meninggalkan Fatimah yang saat itu sedang terancam nyawanya demi menyelamatkan nyawanya sendiri, Tokoh: antagonis.
Latar/ setting :
Adapun yang menjadi latar dalam cerita tersebut adalah
Latar waktu : Selama beberapa tahun, Setiap hari, Pada malam harinya, subuh harinya.
Latar ruang atau tempat : Di desa sekitar Pekauman dan Teluk Selong, Daerah Kampung Melayu, Kebun karet  keluarga Fatimah.
Latar suasana: Suasana romantic, Suasana sedih, dan mencekam, Suasana bahagia, Suasana sedih Suasana panic, Suasana sedih dan mengharukan
Sudut Pandang : Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Nisan Berlumur Darah yaitu sudut pandang orang ketiga,yang menceritakan kembali cerita cerpen tersebut.
Amanat
Sesuatu keputusan yang dipaksakan tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik, apalagi jika menyangkut perkara serius seperti pernikahan. Pernikahan yang didasarkan pada kepentingan duniawi seperti harta, tidak akan bertahan Apabila kita memiliki pandangan atau pilihan sendiri, kita harus mempertahankannya dan memperjuangkan keyakinan akan kebahagiaan yang ingin kita raih agar tidak ada penyesalan setelahnya.


Laila Majnun
Syaih nizami
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar. Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila. Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat. Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh
penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai wanita. Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri
drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah
dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala
suku itu berbincang-bincang tentang kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu “Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya, orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu. Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar pertempuran itu hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka. Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga. Akan tetapi, Laila menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi semakin lebih dalam lagi. Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”. Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah aku?. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama bermalam-malam. Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.
Kabar tentang kematian Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari. Ketika tidak ditemukan cara lain untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa teman sekolahnya mengenali dan
mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Unsure intrinsik
tema : roman Laila-Majnun adalah cinta antara Laila dan Qais;
alur : yang digunakan adalah alur maju (progresif);
tokoh : utama dalam roman ini adalah Qais dan Laila;
latar : secara umum menggunakan latar kehidupan masyarakat sekitar padang pasir Nadj di jazirah Arab;
sudut pandang : yang digunakan adalah sudut pandang campuran antara “dia” mahatahu dan “aku” tokoh utama;
Amanat : yang terkandung adalah seharusnya manusia dapat mensyukuri nikmat yang telah diberikan, dan hendaknya anak mencintai dan menyayangi orang tua denga tulus. Hendaknya manusia tidak berpangku tangan dan selalu berusaha dalam menjalani hidup. Kemudian, hendaknya cinta dimaknai secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan, manusia juga harus memperlakukan binatang dengan baik, dan lain-lain.

Perbandingan Laila Majnun dengan Nisan Berlumur Darah
Laila Majnun merupakan sebuah novel karya Nizami yang berlatarkan di Jazirah Arab dan merupakan sebuah novel yang terkenal sepanjang masa. Nisan Berlumur Darah, sebuah cerita rakyat yang berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan, Indonesia. Sebuah cerita rakyat yang tidak begitu meluas di Indonesia, karena cerita ini awalnya disebarkan hanya secara lisan sehingga cerita itu hanya menyebar di sekitar Kalimantan Selatan saja. Namun, seiringnya teknologi ada beberapa penulis blog Kalimantan Selatan yang menuliskan cerita ini, tetapi sampai sekarang belum ada penulis-penulis Kalimantan Selatan yang membukukannya.
Laila Majnun dan Nisan Berlumur Darah dari segi garis besar cerita memiliki persamaan yang tidak begitu jauh  yaitu, berkisar cerita kasih yang tak sampai. Di mana tokoh perempuannya dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuannya. Namun, dari dua cerita tersebut terdapat beberapa perbedaan.
Pertama, perbedaan latar tempat. Laila Majnun berlatar di Jazirah Arab, sedangkan Nisan Berlumur Darah berlatar di Martapura, Kalimantan Selatan. Sehingga budaya yang tersirat dalam dua cerita tersebut pasti berbeda.
Kedua, tokoh utama dalam Laila Majnun bernama Qais dan Laila. Sedangkan tokoh utama dalam Nisan Berlumur Darah bernama Mashor dan Fatimah.
Ketiga, Qais dan Laila saling jatuh cinta ketika mereka bertemu di majlis ilmu (sekolah).  Sedangkan Mashor dan Fatimah saling jatuh cinta karena Mashor merupakan seorang pembantu di rumah Fatimah yang satu sama lain selalu bertemu dan tumbuhlah rasa cinta mereka berdua dengan seiringnya waktu.
Keempat, cinta Qais dan Laila terhalang oleh orang tuanya Laila yang tidak setuju Qais dan Laila menjalin hubungan karena bagi orang Laila hal tersebut merupakan sebuah aib yang mencemarkan nama baik keluarga. Laila pun akhirnya dipinggit dan mereka terpisah. Hal tersebut ternyata membuat Qais gelisah dan lama kelamaan dia menjadi gila (majnun) dengan terus bersajak dan memanggil-manggil nama Laila.  Melihat keadaan seperti itu, ayah Qais, Syed Omri yang merupakan orang kaya, terkenal, dan tersohor mencoba melamar Laila untuk Qais. Tetapi, keluarga Laila menolak dengan alasan malu mempunyai menantu yang gila (majnun). Akhirnya Laila pun dinikahkan laki-laki pilihan orang tuanya. Sedangkan Mashor dan Fatimah terhalang cintanya karena keluarga Fatimah begitu memegang adat keluarga, yaitu mereka hanya menikahkan anak gadisnya dengan orang yang sederajat. Fatimah adalah anak orang kaya, jadi dia hanya dinikahkan dengan orang kaya juga. Mashor pun akhirnya ditugaskan untuk menjaga kebun karet dan ladang yang jauh dari rumah Fatimah. Hingga pada suatu hari, Fatimah dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya, yaitu Muhdar. Seorang laki-laki kaya raya yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Fatimah.
Kelima, dalam Laila Majnun, Laila meninggal karena penyakitnya. Mendengar berita kematian Laila tersebut, Qais pergi menziarahi kubur Laila dan menangis sejadi-jadinya. Akhirnya, Qais meninggal sambil memeluk kubur Laila. Sedangkan dalam cerita Nisan Berlumur Darah, Mashor meninggal karena luka bakar yang dideritanya. Mashor terluka karena menolong Fatimah saat rumahnya terbakar. Berita meninggalnya Mashor tidak diketahui oleh Fatimah, namun akhirnya Fatimah mengetahui kabar duka tersebut dari pembantunya. Fatimah sangat terpukul hatinya mengetahui pemuda yang melindungi dan dicintainya telah tiada. Menangislah Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam tiga subuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat menyimpan perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan kuburan Mashor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mashor. Dipikirannya hanya ada satu wajah Mashor, pemuda yang sangat mengerti dirinya. Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu Mashor, dia melihat Mashor berdiri tersenyum kepadanya di tengah rintikan hujan. Tanpa berpikir panjang Fatimah berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya melepaskan segala kerinduannya. Fatimah menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya. Fatimah meninggal dengan senyum dia yakin menemukan cintanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar