Perbandingan cerita rakyat NISAN BERLUMUR
DARAH
dengan novel LAILA MAJNUN
Cerita Rakyat
Nisan Berlumur Darah
Mashor adalah pemuda yang bertempat
tinggal di desa yang sekarang sekitar Pekauman dan Teluk Selong. Mashor berasal
dari keluarga yang miskin, tetapi mempunyai pendidikan yang tinggi dan budi
akhlaknya tinggi. Dia mempunyai keahlian membaca Al-Quran yang sangat indah di dengar.
Mashor sebagai orang yang tidak mampu ikut bekerja di rumah Fatimah sebagai
pembantu.
Fatimah merupakan gadis dari keluarga
sangat kaya. Mereka tinggal diseberang desa Mashor, mungkin sekarang daerah
Kampung Melayu. Orang tuanya merupakan pedagang yang mempunyai hubungan dagang
keluar daerah. Terutama daerah Singapura.
Mashor sebagai pembantu mempunyai
banyak pekerjaan yang harus dilakukannya seperti menimba air, memotong kayu,
dan lain-lain. Hari demi hari, bulan demi bulan itu saja yang dilakukannya
untuk membiayai hidup dan orang tuanya. Selama beberapa tahun Mashor bekerja
dirumah kaya itu membuat Fatimah secara tidak sadar jatuh cinta kepadanya
begitu juga sebaliknya. Tetapi karena adat yang menjaga ketat pertemuan antara
perawan dengan bujangan membuat hubungan mereka tidak diketahui oleh keluarga.
Mashor sadar percintaan mereka pasti
akan ditentang oleh keluarga Fatimah yang memegang adat keluarga. Mereka hanya
akan menikahkan anak gadisnya hanya dengan orang yang sederajat dan mempunyai
hubungan keluarga bangsawan dan pasti tentu harus pilihan keluarga. Tetapi
Cinta di hati tidak bisa menolaknya. Tidak lama kemudian hubungan mereka mulai
diketahui orang tua Fatimah. Betapa marahnya orang tua Fatimah mengetahui hal
demikian. Mereka memutuskan untuk menjauhkan Mashor dari Fatimah dengan
menugaskan Mashor menjaga kebun karet dan ladang keluarga Fatimah di seberang
sungai.
Kebun karet ini berada jauh dari rumah
Fatimah, menujunya hanya bisa dengan perahu “jukung” karena melewati sungai
yang kecil. Mashor diberikan pondok kecil untuk berteduh dan melakukan kegiatan
sehari-hari. Setiap hari dia bekerja merawat kebun karet tersebut. Setiap hasil
karet hanya orang suruhan keluarga Fatimah saja yang mengambilnya. Dia tidak
diberikan kesempatan untuk ke rumah sang Majikan. Fatimah mengetahui kabar
Mashor hanya dengan meminta keterangan acil ijah, pembantu yang sering
mengatarkan beras buat Mashor.
Suatu hari ada orang kaya bernama
Muhdar yang masih ada hubungan keluarga dengan Fatimah badatang (melamar) ke
rumah Fatimah dengan menggunakan satu buah kapal yang sangat besar sesuai
dengan derajat kekayaan orang tersebut. Niat Muhdar disambut baik oleh keluarga
Fatimah, mereka sepakat untuk mengadakan perkawinan besar-besaran. Hal ini
tidak menjadi beban bagi Muhdar karena kakayaannya.
Fatimah sangat menentang niat orang
tuanya yang menjodohkannya dengan Muhdar. Dia kenal betul perangai Muhdar.
Walaupun kaya tetapi dia tidak mempunyai budi pekerti dan ilmu agama sebaik
Mashor. Tetapi dia harus menjalankan dua pilihan yang sangat berat. Di satu
sisi dia mempunyai pilihan dan cinta yang diyakininya membawa kebahagian di
dunia dan di akhirat yaitu hidup bersama Mashor. Di satu sisi dia harus
mengikuti perintah orang tuanya, dia sadar menyakiti hati orang tua adalah
perbuatan yang durhaka. Akhirnya Fatimah pasrah terhadap perjodohan ini.
Perjodohan yang dilandasi oleh harta, hubungan keluarga bukan oleh Cinta.
Mashor yang berada jauh tidak mengetahui perjodohan ini. Semuanya yang datang
ke gubuk Mashor bekerja selalu menutupinya. Mereka tidak ingin dipecat majikan
jika menceritakan hal tersebut.
Akhirnya acara pernikahan dimulai,
Muhdar datang dengan beberapa kapal besar yang membawa mas kawin atau jujuran.
Ada kapal yang membawa isi kamar lengkap, ada kapal yang membawa perhiasan emas
dan batu permata, ada kapal yang membawa pakaian wanita yang sangat
indah-indah. Bagi mereka semua itu hal biasa, karena bisnis dagang keluarga ini
ke Singapura berupa batu permata dan kain. Mereka mempunyai banyak pelanggan di
Singapura. Pada jaman tersebut sungai Martapura digunakan sebagai jalur
perdagangan. Kapal-kapal besar pedagang Martapura sering berangkat membawa
barang dagangan ke Pulau Jawa dan Sumatera hingga Singapura dan Malaysia.
Sesuai dengan jalur perdagangan dunia antara Malaysia dan pulau Sumatera.
Pada malam harinya ketika semua
kelelahan. Muhdar dan Fatimah tidur di kamar penganten. Belum sempat malam
pertama itu terjadi ternyata rumah Fatimah terbakar akibat api dapur lupa
dimatikan. Muhdar lari keluar dengan segera tanpa memperdulikan Fatimah. Api
semakin membesar Fatimah terjebak di dalamnya. Mashor yang belum tidur melihat
dari kejauhan warna merah di langit yang menadakan kebakaran. Dia yakin
kebakaran itu berada di rumah Fatimah. Tanpa peduli aturan majikannya yang
tidak memperbolehkannya mendekati rumah dia langsung berlari mengambil jukung.
Setelah sampai di rumah Fatimah dia diberitahu bahwa Fatimah terjebak di
dalamnya. Dengan kekuatan Cintanya dia terobos api dan menemukan Fatimah
pingsan karena terlalu banyak menghirup asap. Dia angkat Fatimah melewati api
yang besar. Dengan badannya dia melindungi Fatimah dari api dan kayu rumah yang
berjatuhan. Setelah dia bawa keluar Mashor disambut Muhdar dengan merebut
Fatimah dari pangkuan Mashor. Dengan demikian Mashor akhirnya mengetahui
perkawinan tersebut. Belum sempat dia mendapatkan penjelasan, Mashor pingsan
karena terlalu banyak luka bakar yang dialaminya. Keluarga Fatimah
memerintahkan agar mashor dirawat kembali di gubuknya tempatnya bekerja. Dan
menginginkan agar peristiwa heroic ini jangan sampai diketahui Fatimah.
Subuh harinya mashor tidak bisa
bertahan. Dia meninggal karena luka yang terlalu parah. Setelah sholat dzuhur
dia dimakamkan di daerah perkebunan karet tersebut. Atau tepatnya sekarang
berada di desa Tungkaran. Makam Mashor sederhana dengan nisan ulin. Untuk
mencegah babi hutan kuburannya juga dipagar bambu. Semuanya berada di
pemakaman, baik teman-teman Mashor maupun keluarga Fatiamah. Tetapi Fatimah
tidak mengetahui kematian ini. Dia masih lemah di kamar rumah Muhdar. Dia masih
bertanya di dalam hati bagaimana dia bisa selamat, suaminya sendiri
meninggalkannya saat kebakaran itu terjadi.
Sewaktu malam hari pertanyaan itu
dikeluarkannya pada Acil Ijah yang sejak kecil merawatnya. Acil Ijah tahu betul
perasaan Fatimah kepada Mashor. Karena tidak dapat mendustai tuannya yang sejak
kecil dia pelihara tersebut akhirnya dia ceritakan peristiwa kebakaran itu. Fatimah
yang sangat rindu Mashor akhirnya menanyakan keberadaan Mashor. Dengan sangat
hati-hati Acil Ijah menceritakan kematian Mashor dan memberitahukan letak
kuburannya. Dia berjanji menemani Fatimah besok untuk ziarah ke kuburan Mashor.
Fatimah Sangat terpukul hatinya
mengetahui pemuda yang melindungi dan dicintainya telah tiada. Menangislah
Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam 3 shubuh tanpa
sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat menyimpan
perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan
ke kuburan Mashor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak
menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan
menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika
ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi
tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mashor.
Dipikirannya hanya ada satu wajah Mashor, pemuda yang sangat mengerti dirinya.
Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena
ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu Mashor, dia melihat Mashor berdiri
tersenyum kepadanya di tengah rintikan hujan. Tanpa berpikir panjang Fatimah
berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya melepaskan segala kerinduannya. Fatimah
menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat
dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di
dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya.
Fatimah meninggal dengan senyum dia yakin menemukan cintanya.
Unsur-Unsur Intrinsik
Tema: Ketulusan Cinta
Alur : dalam cerita Nisan Berlumur Darah ini alur
yang digunakan adalah alur maju karena bercerita dari bagaimana Fatimah dan
Mashor bertemu, saling jatuh cinta dan sampai akhirnya mereka meninggal
dunia.
Tokoh dan Penokohan
- Mashor: Seorang pemuda miskin biasa yang sangat ulet, gigih dan rajin bekerja. Dia adalah sosok laki-laki yang setia terhadap wanita yang dicintainya, Tokoh: protagonist.
- Fatimah: Wanita yang terpaksa harus mengorbankan cintanya demi kebahagiaan kedua orang tuanya agar tidak dianggap sebagai anak yang durhaka. Pernikahannya dengan Muhdar tidak membuatnya menghilangkan rasa cintanya terhadap mashor. Setelah Mashor meninggal pun Fatimah tidak dapat melupakan Mashor bahkan Fatimah bahagia karena di akhir hidupnya bisa bertemu dengan Mashor walau kisah cinta mereka berakhir tragis,Tokoh: protagonist.
- Muhdar: Lelaki kaya raya yang dijodohkan dengan Fatimah. Kekayaannya membuat orang tua Fatimah tidak bisa menolak menerima pinangan Muhdar sehingga membuat Fatimah dan Mashor harus berpisah. Tetapi Muhdar adalah sosok laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Dia tega meninggalkan Fatimah yang saat itu sedang terancam nyawanya demi menyelamatkan nyawanya sendiri, Tokoh: antagonis.
Latar/ setting :
Adapun yang menjadi latar dalam cerita
tersebut adalah
Latar waktu : Selama beberapa tahun, Setiap
hari, Pada malam harinya, subuh harinya.
Latar ruang atau tempat : Di desa sekitar
Pekauman dan Teluk Selong, Daerah Kampung Melayu, Kebun karet keluarga
Fatimah.
Latar suasana: Suasana romantic, Suasana sedih,
dan mencekam, Suasana bahagia, Suasana sedih Suasana panic, Suasana sedih dan
mengharukan
Sudut Pandang : Sudut pandang
yang digunakan pada cerpen Nisan Berlumur Darah yaitu sudut pandang orang
ketiga,yang menceritakan kembali cerita cerpen tersebut.
Amanat
Sesuatu keputusan yang dipaksakan
tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik, apalagi jika menyangkut perkara
serius seperti pernikahan. Pernikahan yang didasarkan pada kepentingan duniawi
seperti harta, tidak akan bertahan Apabila kita memiliki pandangan atau pilihan
sendiri, kita harus mempertahankannya dan memperjuangkan keyakinan akan
kebahagiaan yang ingin kita raih agar tidak ada penyesalan setelahnya.
Laila Majnun
Syaih nizami
Laila dan Qais adalah teman sekelas. Sejak
hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain.
Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini makin lama menjadi
api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi tempat belajar.
Kini, sekolah menjadi tempat mereka saling bertemu. Ketika guru sedang
mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran,
mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak
ada teman atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gelisah sehingga ia
meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya
dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya
di jalan-jalan. Ia hanya berbicara tentang Laila dan tidak juga menjawab
pertanyaan orang-orang kecuali bila mereka bertanya tentang Laila. Orang-orang
pun tertawa dan berkata, ” Lihatlah Qais , ia sekarang telah menjadi seorang
majnun, gila!”
Akhirnya, Qais dikenal dengan nama ini, yakni
“Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka berbicara membuat Majnun
tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan berjumpa dengan Laila kekasihnya. Ia
tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan
bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, ia pasti akan
menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah tempat di puncak bukit
dekat desa Laila dan membangun sebuah gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah
Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai
kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air,
menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu
akan menyampaikan pesan cintanya kepada Laila. Ia menyapa burung-burung dan
meminta mereka untuk terbang kepada Laila serta memberitahunya bahwa ia dekat.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak menemukan jejak Laila. Kerinduannya
kepada Laila demikian besar sehingga ia merasa tidak bisa hidup sehari pun
tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dulu datang
mengunjunginya, tetapi ia berbicara kepada mereka hanya tentang Laila, tentang
betapa ia sangat kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya
yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh
penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga
mereka bertekad membantunya untuk berjumpa kembali dengan Laila. Rencana mereka
sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar
sebagai wanita. Salah seorang wanita pembantu di rumah itu melihat
sahabat-sahabat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi
isyarat kepada salah seorang pengawal. Namun, ketika ibu Laila datang
menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya sudah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya
bertanya kepada Laila, maka tidak sulit bagi mereka mengetahui apa yang telah
terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala
sesuatunya.
Sesudah terjadi peristiwa itu, ayah Laila
menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain
bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan
tetapi jika ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini ia bisa
mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang peristiwa di
rumah Laila, ia memutuskan untuk mengakhiri
drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya.
Ia menyiapkan sebuah kafilah penuh dengan hadiah
dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu
pun disambut dengan sangat baik, dan kedua kepala
suku itu berbincang-bincang tentang
kebahagiaan anak-anak mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu
benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, yaitu
“Cinta dan Kekayaan”. Anak lelakiku mencintai anak perempuanmu, dan aku bisa
memastikan bahwa aku sanggup memberi mereka cukup banyak uang untuk mengarungi
kehidupan yang bahagia dan menyenangkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun
menjawab, “Bukannya aku menolak Qais. Aku percaya kepadamu, sebab engkau
pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan tetapi, engkau
tidak bisa menyalahkanku kalau aku berhati-hati dengan anakmu. Usai menunaikan
ibadah haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya,
pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke
gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah
bangunan tua yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu,
tak ada seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim
segenap sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun
berhasil menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh
binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati
reruntuhan bangunan itu dan melihat ada sesosok aneh yang duduk di salah sebuah
tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang hingga ke bahu, jenggotnya
panjang dan acak-acakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir
mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia melihat ada
seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.”
Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan. Sang musafir pun duduk di
situ dengan tenang. Ia menunggu dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Akhimya,
orang liar itu berbicara. Segera saja ia pun tahu bahwa ini adalah Majnun yang
terkenal itu, yang berbagai macam perilaku anehnya dibicarakan orang di seluruh
jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesulitan menyesuaikan diri dengan
kehidupan dengan binatang-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, ia sudah
menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat
dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu. Usai menunaikan ibadah
haji, Majnun yang tidak mau lagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi
ke pegunungan tanpa memberitahu di mana ia berada. Ia tidak kembali ke gubuknya.
Alih-alih tinggal dirumah, ia memilih tinggal direruntuhan sebuah bangunan tua
yang terasing dari masyarakat dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada
seorang pun yang mendengar kabar tentang Majnun. Orang-tuanya mengirim segenap
sahabat dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun berhasil
menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh
binatang-binatang gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Ketika pasukan ‘Amr hampir memenangkan
pertempuran, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah
seorang dari prajuritmu menginginkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa
melawan. Bahkan, jika engkau ingin membunuhnya, aku tidak keberatan. Namun, ada
satu hal yang tidak akan pernah bisa kuterima, jangan minta aku untuk
memberikan putriku pada orang gila itu”. Majnun mendengar pertempuran itu
hingga ia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari
dengan bebas di antara para prajurit dan menghampiri orang-orang yang terluka
dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan penuh perhatian dan melakukan apa
saja untuk meringankan luka mereka. Amr pun merasa heran kepada Majnun, ketika
ia meminta penjelasan ihwal mengapa ia membantu pasukan musuh, Majnun menjawab,
“Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku bisa
menjadi musuh mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama
sekali tidak bisa memahami hal ini. Apa yang dikatakan ayah Laila tentang orang
gila ini akhirnya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk
mundur dan segera meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun
kepada Majnun.
Laila semakin merana dalam penjara kamarnya
sendiri. Satu-satunya yang bisa ia nikmati adalah berjalan-jalan di taman
bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang
bangsawan kaya dan berkuasa, melihat Laila dan serta-merta jatuh cinta
kepadanya. Tanpa menunda-nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa lelah
dan sedih hati karena pertempuran yang baru saja menimbulkan banyak orang
terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu. Tentu saja,
Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih senang mati
ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya
tidak digubris. Lantas ia mendatangi ibunya, tetapi sama saja keadaannya.
Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega
bahwa seluruh cobaan berat akhirnya berakhir juga. Akan tetapi, Laila
menegaskan kepada suaminya bahwa ia tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak
akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang
waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita
yang bisa membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata dingin ini, Ibn
Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya beberapa waktu larnanya, pada
akhirnya Laila pasti akan menerimanya. Ia tidak mau memaksa Laila, melainkan
menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila
terdengar oleh Majnun, ia menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia
melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu
sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan
kepedihannya begitu berat sehingga binatang-binatang yang berkumpul di
sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak
berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan
batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, ia pun terus tinggal di
reruntuhan itu. Perasaannya kepada Laila tidak berubah dan malah menjadi
semakin lebih dalam lagi. Dengan penuh ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan
selamat kepada Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu
berbahagia di dunia ini. Aku hanya meminta satu hal sebagai tanda cintamu,
janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah memilih orang lain
sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, meskipun
tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan sebuah anting-anting sebagai tanda
pengabdian tradisional. Dalam surat yang disertakannya, ia mengatakan, “Dalam
hidupku, aku tidak bisa melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku
demikian lama, tanpa mampu menceritakannya kepada siapapun. Engkau memaklumkan
cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau
membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, aku harus
menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik
orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk
cinta, engkau ataukah aku?. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah
ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila tampak tua, dewasa, dan bijaksana,
yang jarang dijumpai pada diri wanita seusianya. Semen tara api cintanya makin
membara, kesehatan Laila justru memudar karena ia tidak lagi memperhatikan
dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama
bermalam-malam. Bagaimana ia bisa memperhatikan kesehatan dirinya kalau yang
dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak
akan sanggup bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya
selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang
nyawa dan sekarat, ia masih memikirkan Majnun. Ah, kalau saja ia bisa berjumpa
dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia hanya membuka matanya untuk
memandangi pintu kalau-kalau kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya
sudah habis dan ia akan pergi tanpa berhasil mengucapkan salam perpisahan
kepada Majnun. Pada suatu malam di musim dingin, dengan matanya tetap menatap
pintu, ia pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun.
.Majnun.
Kabar tentang kematian Laila menyebar ke
segala penjuru negeri dan, tak lama kemudian, berita kematian Lailapun
terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, ia pun jatuh pingsan di
tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari.
Ketika kembali sadar dan siuman, ia segera pergi menuju desa Laila. Nyaris
tidak sanggup berjalan lagi, ia menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun
bergerak terus tanpa henti hingga tiba di kuburan Laila di luar kota . Ia
berkabung dikuburannya selama beberapa hari. Ketika tidak ditemukan cara lain
untuk meringankan beban penderitaannya, per1ahan-lahan ia meletakkan kepalanya
di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan tenang. Jasad Majnun
tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum sampai setahun
peringatan kematiannya ketika segenap sahabat dan kerabat menziarahi
kuburannya, mereka menemukan sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila.
Beberapa teman sekolahnya mengenali dan
mengetahui bahwa itu adalah jasad Majnun yang
masih segar seolah baru mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh
dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Unsure intrinsik
tema : roman Laila-Majnun adalah cinta antara Laila dan
Qais;
alur : yang digunakan adalah alur maju (progresif);
tokoh : utama dalam roman ini adalah Qais dan Laila;
latar : secara umum menggunakan latar kehidupan masyarakat
sekitar padang pasir Nadj di jazirah Arab;
sudut pandang : yang digunakan adalah sudut pandang campuran antara
“dia” mahatahu dan “aku” tokoh utama;
Amanat : yang terkandung adalah seharusnya manusia dapat
mensyukuri nikmat yang telah diberikan, dan hendaknya anak mencintai dan
menyayangi orang tua denga tulus. Hendaknya manusia tidak berpangku tangan dan
selalu berusaha dalam menjalani hidup. Kemudian, hendaknya cinta dimaknai
secara proporsional dan tidak berlebih-lebihan, manusia juga harus
memperlakukan binatang dengan baik, dan lain-lain.
Perbandingan
Laila Majnun dengan Nisan Berlumur Darah
Laila Majnun merupakan sebuah novel
karya Nizami yang berlatarkan di Jazirah Arab dan merupakan sebuah novel yang
terkenal sepanjang masa. Nisan Berlumur Darah, sebuah cerita rakyat yang
berasal dari Martapura, Kalimantan Selatan, Indonesia. Sebuah cerita rakyat
yang tidak begitu meluas di Indonesia, karena cerita ini awalnya disebarkan
hanya secara lisan sehingga cerita itu hanya menyebar di sekitar Kalimantan
Selatan saja. Namun, seiringnya teknologi ada beberapa penulis blog Kalimantan
Selatan yang menuliskan cerita ini, tetapi sampai sekarang belum ada
penulis-penulis Kalimantan Selatan yang membukukannya.
Laila Majnun dan Nisan Berlumur Darah
dari segi garis besar cerita memiliki persamaan yang tidak begitu jauh
yaitu, berkisar cerita kasih yang tak sampai. Di mana tokoh perempuannya
dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuannya. Namun, dari dua cerita
tersebut terdapat beberapa perbedaan.
Pertama, perbedaan latar
tempat. Laila Majnun berlatar di Jazirah Arab, sedangkan Nisan Berlumur Darah
berlatar di Martapura, Kalimantan Selatan. Sehingga budaya yang tersirat dalam
dua cerita tersebut pasti berbeda.
Kedua, tokoh
utama dalam Laila Majnun bernama Qais dan Laila. Sedangkan tokoh utama dalam
Nisan Berlumur Darah bernama Mashor dan Fatimah.
Ketiga, Qais dan Laila
saling jatuh cinta ketika mereka bertemu di majlis ilmu (sekolah).
Sedangkan Mashor dan Fatimah saling jatuh cinta karena Mashor merupakan seorang
pembantu di rumah Fatimah yang satu sama lain selalu bertemu dan tumbuhlah rasa
cinta mereka berdua dengan seiringnya waktu.
Keempat, cinta Qais dan
Laila terhalang oleh orang tuanya Laila yang tidak setuju Qais dan Laila
menjalin hubungan karena bagi orang Laila hal tersebut merupakan sebuah aib
yang mencemarkan nama baik keluarga. Laila pun akhirnya dipinggit dan mereka
terpisah. Hal tersebut ternyata membuat Qais gelisah dan lama kelamaan dia
menjadi gila (majnun) dengan terus bersajak dan memanggil-manggil nama
Laila. Melihat keadaan seperti itu, ayah Qais, Syed Omri yang merupakan orang
kaya, terkenal, dan tersohor mencoba melamar Laila untuk Qais. Tetapi, keluarga
Laila menolak dengan alasan malu mempunyai menantu yang gila (majnun). Akhirnya
Laila pun dinikahkan laki-laki pilihan orang tuanya. Sedangkan Mashor dan
Fatimah terhalang cintanya karena keluarga Fatimah begitu memegang adat
keluarga, yaitu mereka hanya menikahkan anak gadisnya dengan orang yang
sederajat. Fatimah adalah anak orang kaya, jadi dia hanya dinikahkan dengan
orang kaya juga. Mashor pun akhirnya ditugaskan untuk menjaga kebun karet dan
ladang yang jauh dari rumah Fatimah. Hingga pada suatu hari, Fatimah dinikahkan
dengan laki-laki pilihan orang tuanya, yaitu Muhdar. Seorang laki-laki kaya
raya yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Fatimah.
Kelima, dalam Laila
Majnun, Laila meninggal karena penyakitnya. Mendengar berita kematian Laila
tersebut, Qais pergi menziarahi kubur Laila dan menangis sejadi-jadinya.
Akhirnya, Qais meninggal sambil memeluk kubur Laila. Sedangkan dalam cerita
Nisan Berlumur Darah, Mashor meninggal karena luka bakar yang dideritanya.
Mashor terluka karena menolong Fatimah saat rumahnya terbakar. Berita
meninggalnya Mashor tidak diketahui oleh Fatimah, namun akhirnya Fatimah
mengetahui kabar duka tersebut dari pembantunya. Fatimah sangat terpukul
hatinya mengetahui pemuda yang melindungi dan dicintainya telah tiada.
Menangislah Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam tiga
subuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat
menyimpan perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus
menemukan kuburan Mashor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak
menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan
menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika
ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi
tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mashor.
Dipikirannya hanya ada satu wajah Mashor, pemuda yang sangat mengerti dirinya.
Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena
ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu Mashor, dia melihat Mashor berdiri
tersenyum kepadanya di tengah rintikan hujan. Tanpa berpikir panjang Fatimah
berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya melepaskan segala kerinduannya. Fatimah
menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat
dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di
dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya.
Fatimah meninggal dengan senyum dia yakin menemukan cintanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar