makalah
Tasawuf
Pertumbuhan dan Ajaran Tasawuf Falsafi
Diajukkan untuk memenuhi tugas UAS mata kuliah Tasawuf
Dosen : M. Nurhasan
Disusun oleh :
Emy Suci Triani
1209502020
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG 2012
KATA PENGANTAR
بســـــــــــــم
الله الرّحمن الرّحيـــــــــم
Alhamdulillah kami
ucapkan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan ridho-Nya kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pertumbuhan dan Ajaran Tasawuf Falsafi sebagai tugas mata kuliah Tasawuf.
Kami
sadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna sehingga kami mengharapkan kritik
dan saran baik dari dosen pembimbing kami maupun dari pembaca.
Kami
ucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu tersusunnya proposal ini, dan kami ucapkan
permohonan maaf apabila dalam makalah ini banyak kesalahan baik dari segi
tulisan maupun isinya.
Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat, khususnya bagi kami dan umumnya bagi para pembaca.
Mudah-mudahan Allah SWT selalu membimbing kita agar kita tetap di jalan-Nya.
Bandung, Juni 2012
Penyusun
i
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar
i
Daftar isi
ii
BAB
I Pendahuluan
1
BAB
II Pembahasan
2
Ø
Pengertian Tasawuf Falsafi
2
Ø
Pertumbuhan Tasawuf Falsafi
6
Ø
Ajaran Tasawuf Falsafi
9
BAB III Kesimpulan
13
Daftar
Pustaka
14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Zaman sekarang disebut zaman modern, ditandai dengan kemakmuran
material, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, serba mekanik dan
otomatis. Materi telah mampu memberikan kesenangan dan kenyamanan lahiriyah..
Namun, semua itu, pada taraf tertentu, telah menimbulkan kebosanan. Bahkan
banyak membawa bencana. Salah satunya adalah manusia modern telah dilanda
kehampaan spiritual.Di tengah suasana seperti itu, manusia merasakan kerinduan
akan nilai-nilai ketuhanan,nilai-nilai ilahiyah, nilai-nilai yang dapat
menuntun manusia kembali kepada fitrahnya. Karena itu manusia mulai tertarik
untuk mempelajari tasawwuf dan berusaha untuk mengamalkannya. Untuk mendekatkan diri pada Tuhan, maka harus
menempuh jalan ikhtiar, salah satu jalan ikhtiar yaitu dengan mendalami lebih
jauh ilmu tasawuf, untuk mengetahui sesuatu maka pasti ada ilmunya, banyak di
kalangan orang-orang awam yang kurang mengetahui tentang ilmu mengenal tuhan.
Dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah.
Berkembangnya tasaawuf sebagai jalan dan latihan untuk
merealisir kesucia batin dalam perjalanan menuju kedekatan dengan Allah, juga
menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan
filsafat. Dari
kelompok inilah tampl sejumlah kelompok sufi yang filosofis atau filosofis yang
sufi. Konsep-konsep mereka yang disebut dengan tasawuf falsafi yakni tasawuf
yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. ajran filsafat yang paling
banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Plotinus.
Andaya
pemaduan antara filsafat dengan tasawuf pertama kali di motori oleh para fisful
muslim yang pada saat itu mengalami helenisme pengetahuan. Misalanya filsuf
muslim yang terkenal yang membahas tentang Tuhan dengan mengunakan konsep-konsep
neo-plotinus ialah Al-Kindi. Dalam filsafat emanasi Plotinus roh memancar dari
diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, dia
berpendapat bahwa roh masuk ke dalam tubuh manusia juga kotor, dan tak dapat
lagi kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap tinggal di bumi
berusaha. dari sini di tarik ke dalam ranah konsep tasawuf yang berkeyakinan
bahwa penciptaan alam semesta adalah pernyataan cinta kasih Tuhan yang
direfleksikan dalam bentuk empirik atau sebagai mazhohir dari asma Tuhan.
Namun istilah
tasawuf fal safi bulum terkenal pada waktu itu, setelah itu baru tokoh-tokoh
teosofi yang populer. Abu Yazid al-Bustami, Ibn Masarrah (w.381 H) dari
Andalusia dan sekaligus sebagai perintisnya. orang kedu yang mengombinasikan
antara teori filsafat dan tasawuf ialah Suhrawardi al-Maqtul yang berkembang di
Persia atau Iran. Masih banyak tokoh tasawuf falsafi yang berkembang di Persia
ini sepeti al-Haljj dengan konsep al-Hulul yakni perpaduan antara isan dengan
Tuhan.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Tasawuf
Tasauf falsafi adlalah tasauf yang ajarannya-ajarannya memadukan
antara visi dan mistis dan visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan
tasauwufakhlaqi, tasauf falsafi menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannya. Terminologi falsafitersebut berasal dari bermcam-macam ajaran
filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya.[1]
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal
Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat
yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan
yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga
dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat.[2]
Tasawuf Falsafi
adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan
pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan
hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu
yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi
yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di dalam
tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau
tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi
praktis, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam
konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan
pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
Dari adanya
aliran tasawuf falsafi ini menurut saya sehingga muncullah
ambiguitas-ambiguitas dalam pemahaman tentang asal mula tasawuf itu sendiri.
kemudian muncul bebrapa teori yang mengungkapkan asal mula adanya ajaran
tasawuf. Pertama; tasawuf itu murni dari Islam bukan dari pengaruh dari non-
Islam. Kedua; tasawuf itu adalah kombinasi dari ajaran Islam dengan non-Islam
seperti Nasrani, Hidu-Budha, filsafat Barat (gnotisisme). Ketiga; bahwa tasawuf
itu bukan dari ajaran Islam atau pun yang lainnya melainkan independent.
Tasawuf
falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan
visi rasional pengasasnya. Berbeda dengan tasawuf akhlawi, tasawuf falsafi
menggunakan terminologi gilosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi
tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran yang telah mempengaruhi para
tokohnya.
Menurut
at-taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah islam
sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Sejak tiu, tasawuf jenis ini tersu hidup dan berkembang, terutamadi
kalangan para sufi yang juga filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini.[3]
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf ini dengan
senidirnya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan
sejumlah ajaran filsafat di luar islam, seperti yunani, persia, india, dan
agama nashari. Akan tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tetap tidak hlang.
Sebab, meskipun mempunya latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda
dan beragam, seiring dengan ekspansi islam, yang telah meluas pada waktu itu,
para tokohnya tetap berusaham menjaga kemandirian ajaran aliran mereka,
teruutama bla dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat islam. Sikap ini
dengna sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf
jenis ini begitu igih mempromikan ajaran-ajaran filsafat yang berasal dari luar
islam tersebut ke dalam tasawif mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi
filsafat, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajran tasawuf yang mereka
anut.
Masih menurut
at-taftazani, ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar-samar
akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat dipahami oleh siapa saja yang
memahami ajaran tasawuf jenis ini.[4]
Tasawuf
falsafi tidak dapat di pandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan padarasa (dzauq) tetapi tidak dapat pula di kategorikan sebagai
tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajrannya sering diungkapkan
dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.[5]
Para sufi
yang juga filosof pendiri aliran tasawuf ini mengenal dengan baik filsafat
yunani seta berbagai aliran seperti socrates, plato, aristoteles, alira stoa,
dan aliran neo-platonisme, dengan filsafatnya tentang emanasi. Bahkan, mereka
pun cukup akbar dengan filsafat yang sering kali disebut hermenetisme yang
karya-karyanya banyak di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan filsafat-filsafat
timur kuno, baik dari persia maupun india, serta filsafat-filsafat islam,
seperti yang diajarkan oleh al-farabidan ibn sina. Mereka pun dipengaruhi
aliran batiniah sekte isma'iliyyah aliran syi’ah dan risalah-risalah ikhwan
ash-shafa’.[6]
Tasauf
falsafi memiliki objek tersendiri yang berbeda dengan tasauf sunni. Dalam hal
ini, ibnu khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh at-taftazani dalam karyanya
al-muqaddimah menyimpulkan bahwa ada emapat objek utama yang menjadi perhatian
para sufi filosof, antara lain sebagi berikut.
Pertama,
latihan
rohaniah dengan rasa, instusi serta intropeksi diri yang timbul darinya.
Mengenai latihan rohaniah dengan tahapan (maqam) maupun keadaan (hal) rohaniah
serta rasa (dzauq) para sufi filosof cenderung sependapat dengan para sufi
sunni, sebab, masalah tersebut, menurut ibnu khaldun, merupakan sesuatu yang
tidak dapat di tolak oleh siapapun.
Kedua,
iluminasi
atau hakikat yang tersingkap dari alam gaib, seperti sifat-sifat rabbani,
‘arsy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, roh, hakikat realitas segala yang wujud,
yang gaib maupun yang tampak, dan susunan kosmos, terutama tentang penciptanya.
Serta pencipatannya. Mengenai ilminasi ini, para sufi yang juga filosof
tersebut melakukan latihan rohaniah dengan mematikan kekuatan syahwat serta
menggairahkan roh dengna jalan menggiatkan dzikir. Dengan dzikir, menurut
mereka, jiwa dapat memahami hakikat realitas-realitas.
Ketiga,
peristiwa-peristiwa
dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai bentuk kekeramatan
atau keluarbiasaan.
Keempat,
penciptaan
ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar (syathayyat) yang
dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa mengingkarinya,
menyetujui, ataupun menginterprestasikannya dengan interprestasi yang
berbeda-beda.
Pertumbuhan
tasawuf falsafi
1.
Tasawuf
Falsafi di Dunia Islam
Tasawuf falasafi secara sederhana dapat didefenisikan sebagai
kajiandan jalan esoteris dalam Islam untuk mengembangkan kesucian bathin
yangkaya dengan pandangan-pandangan filosofis. Keberadaan tasawuf
bercorakfalsafi ini pada satu sisi telah menarik perhatian para ulama yang
padaawalnya kurang senang dengan kehadiran filsafat dalam khazanah
Islam.Sementara bagi para ulama yang menyenangi kajian-kajian filsafat
dansekaligus menguasainya, tasawuf falsafi bagaikan sungai yang airnyademikian
bening dan begitu menggoda untuk direnangi.
Ulama pertama yang dapat dianggap sebagai tokoh tasawuf falsafi
adalahIbn Masarrah (w. 319/931) yang muncul dari Andalusia. Sekaligus diadapat
dianggap sebagai filosof sufi pertama dalam dunia Islam.Pandangan filsafatnya
adalah emanasi yang mirip dengan emanasi Plotinus.
Menurutnya, melalui jalan tasawuf manusia dapat melepaskan jiwanya
daribelenggu/penjara badan dan memperoleh karunia Tuhan berupa penyinaranhati
dengan nur Tuhan. Suatu ma’rifah yang memberikan kebahagiaansejati. Ia juga
menganut pandangan bahwa kehidupan di akhirat bersifatruhani, sehingga di
akhirat kelak manusia dibangkitkan ruhnya saja,tidak dengan badan. Pandangan
yang amat mirip dengan penyataan IbnuSina tentang kebangkitan manusia kelak di
akhirat.
Tokoh kedua yang berpengaruh besar dalam dunia tasawuf falsasi
adalah Suhrawardi al-Maqtul, sufi yang dibunuh di Aleppo pada tahun
587/1191,-karena pandangannya yang telah keluar dari Islam menurut ulama
fuqaha.Suhrawardi juga seorang penganut paham emanasinya Ibnu Sina. Bila tasawuf sunni (akhlaki) memperoleh bentuk yang final di
tanganImam Al-Gazali, maka tasawuf falsafi mencapai ‘puncak’ kesempurnaandalam
pengajaran Ibn Arabi, seorang sufi yang juga datang dariAndalusia. Pengetahuan
Ibnu Arabi yang amat kaya dalam bidang keislamandan lapangan filsafat,
membuatnya mampu menghasilkan karya yangdemikian banyak, di antaranya
al-Futuhad al-Makkiyah dan Fushushal-Hikam. Boleh dikatakan hampir semua
pengajaran, praktek dan ide-ideyang berkembang di kalangan sufi pada masa itu
mampu diliput dankemudian diberinya penjelasan yang amat memadai.
2.
Tasawuf
Falsafi di Nusantara
Wacana tasawuf falsafi di Nusantara agaknya dimotori oleh
HamzahFansuri dan Syamsuddin Sumatrani, dua tokoh sufi yang datang dari
pulauAndalas (Sumatera) pada abad ke 17 M. Sekalipun pada abad ke 15sebelumnya
telah terjadi peristiwa tragis berupa eksekusi mati terhadapSyekh Siti Jenar
atas fatwa dari Wali Songo, karena ajarannya dipandangmenganut doktrin sufistik
yang bersifat bid’ah berupa pengakuan akankesatuan wujud manusia dengan wujud
Tuhan, Zat Yang Maha Mutlak. Namun sejauh
ini penulis belum menemukan literatur yang menjelaskanapakah paham yang dianut
Syekh Siti Jenar adalah wahdatulwujud yangberasal dari Ibnu Arabi lewat
‘jaringan ulama’ sebagaimana dimaksudAzra dalam bukunya tersebut. Terlebih lagi
terlalu sedikit literaturyang menjelaskan keberadaan sosok Syekh Siti Jenar
dalam khazanahkeislaman di Nusantara. Paling tidak menurut Alwi Shihab,
kehadiranSyekh Siti Jenar dengan ajaran dan syathahad-nya yang dipandang
sesat,dapat dijadikan sebagai tahap pertama perkembangan tasawuf falsafi
diIndonesia. cahaya perkembangan tasawuf falsafi di Indonesia dalam waktu yang
lama, sampai kemudianmunculnya Hamzah dan Syamsuddin di Sumatera.
Hamzah Fansuri adalah keturunan Melayu yang dilahirkan di Fansur
-namalain dari Barus-. Para peneliti tidak menemukan bukti yang valid
kapansebenarnya Hamzah lahir. Dia diperkirakan hidup pada akhir abad ke 16dan
awal abad ke 17, yakni pada masa sebelum dan selama pemerintahanSultan ‘Ala
al-Din Ri’yat Syah (berkuasa 977-1011H/1589-1602M). Hamzahdiperkirakan
meninggal sebelum tahun 1016H/1607M.
Hamzah memulai pendidikannya di Barus, kota kelahirannya yang
padawaktu itu menjadi pusat perdagangan, karena saat itu Aceh berada
dalamkemajuan di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda dan Iskandar
Tsani.Kwalitas pendidikan yang cukup baik di Aceh menjadikan Hamzah
dapatmempelajari ilmu-ilmu agama seperti ; fiqh, tauhid, akahlak, tasawuf,dan
juga ilmu umum seperti ; kesustraan, sejarah dan logika. Selesaimengikuti
pendidikan di tanah kelahirannya, Hamzah kemudian melanjutkanpendidikan ke
Timur Tengah, khususnya Persia dan Arab. Sehingga diadapat menguasai bahasa
Arab dan Persia, mungkin juga bahasa Urdu. Dalamhal tasawuf falsafi
diperkirakan Hamzah mempelajari dari Iraqi, muridSadr al-Din al-Qunawi, murid
kesayangan Ibnu Arabi.
Ajaran wujudiyah Hamzah ini kemudian dikembangkan oleh
muridnyaSyamsuddin Sumatrani. Kebanyakan peneliti berpendapat, hubungan merekaadalah
guru-murid. Abdul Azis juga membenarkan pendapat A. Hasymy bahwahubungan Hamzah
dengan Syamsuddin sebagai murid dan khalifah, karenamenurutnya telah dijumpai
dua karya Syamsuddin yang merupakan ulasanatau syarah terhadap pengajaran
Hamzah yaitu : Syarah Ruba’i HamzahFansuri dan Syarah Syair Ikan Tongkol
Terdapat banyak informasi tentang potret pribadi syeikh di antaranya :Hikayat
Aceh, Adat Aceh, Bustan al-Salathin dan informasi daripengembara dan peneliti
asing. Dari informasi tersebut dijelaskan bahwaSyamsuddin lahir kira-kira 1589
dan wafat 24 Februari 1630 berdasarkaninformasi Deny Lombard. Syaikh banyak
melahirkan karya bermutu seperti: Jawhar al-Haqaiq, Risalah Tubayyin Mulahazah,
Nur al-Daqaiq, Thariqal-Sahlikin, I’raj al-Iman dan karya lainnya. Syamsuddin
menguasaibeberapa bahasa, tapi karya-karyanya kebanyakan ditulis dalam
bahasaMelayu dan Arab. Pemikiran Hamzah tentang ajaran wujudiyah terdapat dalam
karyanya Zinatal-Wahidin, yang terdiri dari tujuh bab. Menurut Hamzah hakekat
dariZat Yang Maha Mutlak, Kadim dan pencipta alam semesta tidak dapatditentukan
atau dilukiskan. Dalam kaitan ini bagi Hamzah alam yang padamulanya bersifat
ruhani kemudian berubah berisifat jasmani adalahmanifestasi dari zat Ilahi. Zat
Ilahi menampung seluruh wujud, sehinggadalam aspek transenden zat Tuhan tidak
bertepi. Pada aspek immanen zatTuhan juga tidak terpisah dari alam. Lebih jauh
Hamzah menjelaskantahap-tahap hubungan Tuhan dengan manifestasi-Nya, alam.
Ajaran-ajaran
tasawuf falsafi
Ajaran filsafat tasawuf dari al-Hallaj ini intinya ada pada tiga
perkara :
1) Hulul, yaitu Ketuhanan (lahut) yang menjelma dalam diri manusia(nasut)
1) Hulul, yaitu Ketuhanan (lahut) yang menjelma dalam diri manusia(nasut)
2) Al-Hakikatul Muhammadiyah, yaitu Nur Muh}ammad sebagai asal
usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan dan dengan
perantaranyalah seluruh alam ini dijadikan
3) Kesatuan segala agama. Menurutnya, bila mana batin seorang
insan telah suci bersih dalam menempuh perjalanan hidup kebatinan, maka akan
naiklah tempat hidupnya itu dari satu maqam ke maqam yang lain, misalnya
muslim, mukmin, solohin, mukarrabin, mukarrabin adalah orang yang paling dekat
dengan Tuhan. Di atas tingkat ini tibalah ia dipuncak, sehingga bersatu dengan
Tuhan. Apabila Ketuhanan telah menjelma di
dalam dirinya tidak ada lagi kehendak yang berlaku melainkan kehendak Allah. Ruh Allah telah meliputi dirinya sebagaimana yang telah meliputi Isa anak Maryam. Al-Hallaj adalah orang pertama yang mengajarkan bahwasanya kejadian alam mulanya adalah Nur Muhammad, atau Nur Muhammad adalah asal segala kejadian, Nabi Muhammad terjadi dalam dua rupa, yang qadim dan azali. Dia telah ada sebelum terjadinya seluruh yang ada. Wujudnya sebagai manusia adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan.
Tokoh ini juga berpandangan berbagai macam agama, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang ada, hakikatnya satu saja. Segala agama adalah agama Allah, maksudnya menuju kepada Allah. Orang lahir dalam satu agama atau memilih agama, bukan atas kehendaknya, tapi dikehendaki
untuknya, karena sudah ada takdir yang ditentukan Allah. Tak ada gunanya mencela orang berlainan agama dan berselisihm, yang penting perdalamlah pegangan agama masing-masing. Dari uraian di atas dapat dipahami, hulul dan ittihad ada kemiripan, yaitu bersatunya manusia dengan Tuhan setelah menempuh tahap-tahap fana, lalu menghilangkan kefanaan itu sehingga ruh Allah meliputi dalam dirinya. [7]
dalam dirinya tidak ada lagi kehendak yang berlaku melainkan kehendak Allah. Ruh Allah telah meliputi dirinya sebagaimana yang telah meliputi Isa anak Maryam. Al-Hallaj adalah orang pertama yang mengajarkan bahwasanya kejadian alam mulanya adalah Nur Muhammad, atau Nur Muhammad adalah asal segala kejadian, Nabi Muhammad terjadi dalam dua rupa, yang qadim dan azali. Dia telah ada sebelum terjadinya seluruh yang ada. Wujudnya sebagai manusia adalah seorang Nabi dan Rasul yang diutus Tuhan.
Tokoh ini juga berpandangan berbagai macam agama, seperti Islam, Nasrani, Yahudi dan lain-lain hanyalah perbedaan nama dari hakikat yang ada, hakikatnya satu saja. Segala agama adalah agama Allah, maksudnya menuju kepada Allah. Orang lahir dalam satu agama atau memilih agama, bukan atas kehendaknya, tapi dikehendaki
untuknya, karena sudah ada takdir yang ditentukan Allah. Tak ada gunanya mencela orang berlainan agama dan berselisihm, yang penting perdalamlah pegangan agama masing-masing. Dari uraian di atas dapat dipahami, hulul dan ittihad ada kemiripan, yaitu bersatunya manusia dengan Tuhan setelah menempuh tahap-tahap fana, lalu menghilangkan kefanaan itu sehingga ruh Allah meliputi dalam dirinya. [7]
A.
Ajarn-ajaran
tasawuf ibn’arabi
a. Wahdat
al-wujud
Ajaran
sentral ibn ‘ibn arabi adalah tentang wahdat al-wujud (keastuan wujud).
Meskipun demkian, istilah wahdat al-wujud yang di pakai untuk menyebut ajaran
sentralnya itu, tidaklah berasal dari dia, tetapi berasal dari ibnu taimiyah,
tokoh yang hwahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral ibn ‘arabi, mereka
berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wahdar al-wujud.
Menurut
ibnu taimiyah wadah al-wujud adalah penyamaan tuhan dengan alam menurut
penjelasannya, orang yang mempunya paham wahdat al-wujud mengatakan bahwa wujud
itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang di miliki oleh khliq juga
mukmin al-wujud yabg di miliki oleh makhluk, selain itu, orang-orang yang
mempunyai paham wahdat al-wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama
dengan wujud tuhan, tidak ada perbedaan.[8]
b. Haqiqah muhamaddiyah
Dari
konsep wahdat ibn ‘arabi muncul lagi dua konsep sekaligus merupakan lanjutan
atau cabang dari konsep wahdat al-wujud, yaitu konsep al-hakikat al
muhamaddiyah dan konsep wahdat al-dyan (kesamaan agama)
c. Wahdatul
adyann
Adapun
yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-ady (kesamaan agama), bin ‘arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikat muhamaddiyah.k
onsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah.
Seseorang yang benar-benar arif adalah menyembah Allah dalam setiap bidang
kehidupanya, dengan kata lain dapat di katakan bahwa ibadah yang benar
hendaknya abid memandang semua apa saja sebagai segbagian dari ruang lingkup
realitas dzat tuhan yang tunggal sebagaimana ‘irnya, dikemukakannya dalam
sya’irnya
“kini Qalbuku bisa menampung semua
Ilalang perburan kijang atau biara penderan
Kuil pemuja berhala atau ka’bah
Lau taurah dan mushalaf al-qur’an
B. Ajaran
tasawuf al-jili
Ajaran
tasawuf al-jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna)
menurut al-jili insan kamil adalah nuskhah atau copy tuhan, seperti di sebutkan
dalam hadis Artinya: Allah menciptakan adam dalam bentuk yang maharman “
maqamat (al-martabah)
sebagai
seorang sufi, al-jili dengan membawa filsafat inasn kamil merumuskan beberapa
maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menganut istilahnya ia disebut
al-martabah (jenjang atau tingkat) tingkat itu adalah
1. Islam
2. Iman
3. Shalah
4. Ihsan
5. Syahdah
6. Shiddiqiyah
7. Qurbah
C. Ajaran
tasawuf ibn sabi’in
a.
Kesatuan mutlak
Ibn
sabiin adalah seorang pengasas sebuah paham dalam kalangan tasawuf filosofis,
yang dikenal dengan paham kesatuan mutlak. Gagasan esensial pahamnya sederhanas
saja, yaitu wujud adalah suatu alias wujud Allah semata. Wujud-wujud lainnya
hanyalah wujud yang satu itu sendiri. Jelasnya, wujud-wujud yang lain itu
hakikatnya sama sekali tidak lebih dari wujud yang satu semata. Dengan
demikian, wujud dalam kenyataan hanya satu persoalan yang tetap.
Paham
ini lebih di kenal dengan sebutan paham paham kesatuan mutlak. Hal ini karena
dia berbeda dari paham-paham tasawuf yang memberi ruang lingkup pada
pendapat-pendapat tentang hal yang mungkin di dalam suatu bentuk , kesatuan
mutlak ini , atau kesatuan murni atau yang menguasai menurut terminologi ibnu
sabi’in pun, hampir tidak mungkin mendiskripsikan kesatuan itu sendiri. Hal ini
karena ada pengikutnya terlalu berlebihan dalam memutlakkannya, dan karena
gagasan tersebt menolak semua atribut, tambahan, ataupun nama. Dengan begitu,
pada gagasan ini dikenakkan konsepsi-konsepsi manusia.
BAB III
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa tasawuf
itu benar-benar asali (murni) dari ajaran Islam yang tidak di syari’atkan atau
di sunnahkan oleh nabi meskipun beliau juga melakukanya. Kemudian pendapat yang
mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari akulturasi ajaran lain termasuk
gnotis itu juga tidak bisa disalahkan, sebab adanya pengklasifikasian tasawuf
sehingga muncul beberapa tasawuf, seperti tasawuf sunni, salafi dan tasawuf
falsafi membuat determinasi diantaranya. maka jikalau dikatakan tasawuf adalah
akulturasi antara Islam dengan yang lain itu termasuk tasawuf falsafi yang mana
telah mengedepankan asas rasio sehingga berbaur dengan fisafat-filsafat yang
ada di ajaran lain.
Daftar
Pustaka
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,
Terj. Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985.
Mas Gun,
tasawuf falsafi http://slendangwetan29.blogspot.com/2008/02/tasawuf-falsafi.html
arrosikhni,
tasawuf falsafi. http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2239123-tasawuf
falsafi/#ixzz1xgNmTsyT
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli, Ibn
Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977. www.tasawufislam.blogspot.com
[1]
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj. Ahmad
far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187
[3]
Abu Al-wafa’ Al-ghanimi At-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj.
Ahmad far’i ustmani, Pustaka, Bandung, 1985, hlm, 187
[4] Ibid.
[5] Ibid,
h. 188
[6]
Ibid.
[8]
Muhammad Mahdi Al-Istanbuli,
Ibn Taimiyah: Batha Al-Ishlah ad-Diniy, Dar Al-Ma’rifah, Damaskus, 1397 H/1977.
www.tasawufislam.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar